Lonjakan Jumlah WNI di Industri Judi Online Kamboja: Antara Peluang, Tekanan, dan Realita yang Tak Terlihat

Ilustrasi judi online.

Ilustrasi judi online.

Jakarta Di balik layar industri digital yang berkembang pesat di Asia Tenggara, ada ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang saat ini menggantungkan hidup mereka pada roda bisnis yang menuai banyak kontroversi: judi online. Kota Sihanoukville, Kamboja, kini menjadi semacam “magnet” baru bagi tenaga kerja asal Indonesia, terutama mereka yang mencari pemasukan cepat dan stabil, meski dengan risiko besar.

Kementerian Luar Negeri Indonesia mencatat lonjakan jumlah WNI yang berada di Kamboja, khususnya yang bekerja di sektor ini. Dalam keterangannya awal Maret lalu, Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu, Judha Nugraha, mengungkapkan bahwa data dari KBRI Phnom Penh menunjukkan sekitar 17.121 WNI telah secara aktif melaporkan keberadaan mereka di Kamboja.

Namun, jika dibandingkan dengan data otoritas lokal, angka tersebut tampak sangat kecil. Pemerintah Kamboja mencatat bahwa 73.724 WNI saat ini memiliki izin tinggal legal di negara itu. Artinya, ada lebih dari 50 ribu WNI yang berada di Kamboja tetapi tidak tercatat aktif melapor ke perwakilan diplomatik Indonesia.

“Ada perbedaan yang sangat besar antara jumlah WNI yang melaporkan diri dan yang memiliki izin tinggal. Ini menunjukkan rendahnya kesadaran untuk melapor dan menandakan potensi kerentanan,” ujar Judha dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (11/4/2025).


Industri Judi Online Mitoto: Menyerap Ribuan Tenaga Kerja Indonesia

Ledakan industri digital dan maraknya judi online di Kamboja telah menciptakan ekosistem kerja yang tidak sedikit menyerap tenaga kerja dari luar negeri—termasuk Indonesia. Judi online yang di Indonesia dilarang keras, justru menjadi sektor legal di Kamboja, lengkap dengan infrastruktur, perizinan, dan sistem kerja yang mapan.

Duta Besar RI untuk Kamboja, Santo Darmosumarto, menyebut bahwa pertumbuhan industri ini mendorong banyak WNI untuk bekerja di sana. Menurutnya, saat ini sekitar 60 persen dari WNI yang berada di Kamboja bekerja langsung di sektor judi online Mitoto, dan sisanya berada di sektor-sektor pendukung seperti restoran, laundry, salon, hingga toko ponsel.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kita memang melihat lonjakan yang cukup tajam. Ada yang bekerja sebagai customer service, digital marketing, IT support, hingga tenaga pendukung operasional. Lingkup pekerjaannya sangat beragam,” jelas Santo, dikutip dari Antara.


Gaji Tinggi, Tekanan Tinggi

Banyak WNI yang tergiur bekerja di Kamboja karena tawaran gaji yang menggiurkan. Beberapa pekerja mengaku mendapatkan bayaran mulai dari Rp 8 juta hingga lebih dari Rp 20 juta per bulan, tergantung dari posisi dan pengalaman kerja. Bagi sebagian orang di Tanah Air, angka ini tentu menarik—terutama untuk pekerjaan yang tak selalu membutuhkan gelar akademis tinggi.

Namun di balik besarnya gaji, tersembunyi tekanan kerja yang tidak ringan. Jam kerja panjang, target tinggi, serta suasana kerja yang sangat kompetitif menjadi keseharian. Beberapa pekerja bahkan menyebut kondisi tempat tinggal yang sempit dan pengawasan ketat oleh manajemen.

“Gajinya memang lumayan, tapi hidup di sini tidak segampang yang orang kira. Jam kerja bisa sampai 12 jam sehari. Dan kalau target enggak tercapai, bisa langsung dipotong atau dipindah divisi,” ujar salah satu WNI asal Jawa Barat yang bekerja di bidang customer relationship marketing.


Bukan Selalu TPPO, Tapi Banyak Kasus Ketenagakerjaan

Dengan meningkatnya jumlah WNI yang terlibat dalam bisnis ini, meningkat pula persoalan yang dihadapi. Namun, menurut penuturan Dubes Santo, tidak semua kasus yang muncul dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Justru sebagian besar menyangkut masalah ketenagakerjaan biasa, seperti gaji yang tidak dibayarkan, pemutusan kerja sepihak, atau konflik antarpekerja.

“Permasalahan yang terjadi sebagian besar lebih ke masalah internal, antara pemilik perusahaan dan pekerjanya, atau antara sesama pekerja. Jadi perlu pendekatan yang berbeda dalam menanganinya,” jelas Santo.

Pihak KBRI di Phnom Penh sendiri terus melakukan pendekatan diplomatik dengan otoritas Kamboja untuk memastikan perlindungan bagi para WNI. Namun dengan jumlah yang semakin besar dan sebaran yang tidak terdata rapi, tugas ini jelas tidak mudah.


Kenapa Mereka Memilih Bekerja di Sektor Ini?

Pertanyaan yang sering muncul dari masyarakat Indonesia adalah: “Kenapa mereka mau bekerja di dunia judi online mitoto yang dilarang di Indonesia?” Jawabannya tidak tunggal. Bagi sebagian besar WNI, keputusan ini lebih didasarkan pada kebutuhan ekonomi.

Di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan layak di Tanah Air, tawaran kerja di Kamboja—yang umumnya datang dari grup-grup WhatsApp, Telegram, hingga iklan online—terlihat seperti angin segar. Iming-iming gaji dalam dolar, fasilitas tempat tinggal, dan tiket pesawat gratis membuat banyak orang tergiur, meski tanpa tahu sepenuhnya risiko yang dihadapi.

“Kalau ada kerjaan bagus di Indonesia, enggak mungkin saya ke sini. Tapi di sini, saya bisa bantu bayar utang orang tua dan kirim uang buat adik sekolah,” ujar Rini, pekerja asal Makassar yang kini bertugas sebagai staf operasional di salah satu perusahaan digital di Sihanoukville.


Menuju Solusi yang Lebih Manusiawi

Fenomena meningkatnya pekerja Indonesia di industri judi online Kamboja adalah cerminan dari masalah yang lebih besar: minimnya lapangan kerja yang layak di dalam negeri, dan tingginya daya tarik kerja luar negeri, meski dalam sektor yang kontroversial.

Pemerintah Indonesia memang sudah mulai melakukan koordinasi antar kementerian untuk membahas langkah-langkah strategis. Namun pendekatannya tidak bisa hanya represif. Dibutuhkan kebijakan yang lebih manusiawi dan solutif—termasuk pembekalan keterampilan, edukasi hukum, dan penguatan kerja sama bilateral dengan negara tujuan pekerja migran.


Penutup

Pada akhirnya, para WNI yang bekerja di Kamboja bukan semata-mata “pemain judi” atau bagian dari skema ilegal. Mereka adalah pekerja migran yang menjalani hidup di sektor abu-abu, dalam sistem yang kompleks, dan sering kali tanpa perlindungan memadai.

Mereka adalah wajah dari ribuan orang yang hanya ingin hidup lebih baik, walau dengan cara yang tak selalu dianggap sah oleh norma di negara asal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *