Sihanoukville, Kamboja — Kota pesisir ini mungkin tak banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tapi bagi ribuan pekerja asal tanah air yang menggantungkan hidup dari industri judi online, Sihanoukville adalah tempat mencari nafkah, bertahan hidup, dan kadang—menyembunyikan identitas.
Di sudut-sudut kota ini, berdiri berbagai bangunan bertingkat tinggi yang menyimpan cerita dari balik layar. Salah satunya adalah kompleks Trimulia, tempat di mana sejumlah situs judi online beroperasi dan ratusan WNI bekerja siang malam. Di sekitarnya, tersebar mes—atau asrama pekerja—yang namanya tak kalah mencolok dari situs yang mereka kelola.
Ada Mes Fortune, Mes Bosvegas, dan Mes 388—nama-nama yang terdengar asing bagi orang awam, tapi sangat familiar bagi siapa pun yang pernah berselancar di dunia judol bazoka. Nama-nama itu mirip situs judi online yang kerap muncul di iklan-iklan gelap internet.
“Dulu saya tinggal di Mes 388, deket banget dari Trimulia, tinggal jalan kaki,” cerita Teddy, pria asal Jawa Tengah yang sudah dua tahun bekerja di Kamboja sebagai SEO BAZOKA specialist. “Awalnya sempat heran juga, kenapa mes tempat tinggal dinamain kayak nama situs. Tapi lama-lama biasa aja, karena ya memang kerjaannya seputar itu.”
Teddy bukan satu-satunya. Menurut laporan lapangan, sebagian besar pekerja asal Indonesia tinggal di mes dengan nama-nama serupa. Selain jadi tempat tinggal, mes-mes itu juga kadang berfungsi sebagai tempat pelatihan, tempat istirahat shift malam, bahkan ruang darurat saat penggerebekan.
“Di gedung Trimulia sendiri, banyak pengumuman yang pakai Bahasa Indonesia,” lanjut Teddy. “Mulai dari aturan akses lift, jadwal kerja, sampai larangan merokok.”
Di sekitar kompleks, suasana memang mirip kawasan Tanah Abang atau Glodok. Warung makan Padang, soto ayam, pecel lele, hingga cilok Bandung bisa ditemukan dengan mudah. Bahasa yang terdengar pun lebih sering Bahasa Indonesia ketimbang Khmer atau Mandarin. Seolah-olah, ini bukan lagi Kamboja—melainkan Indonesia cabang luar negeri.
Bekerja di Bayang-Bayang Blokir
Teddy mengaku tugasnya adalah memastikan situs tempat dia bekerja selalu berada di halaman pertama Google. Selain itu, ia juga menyiapkan domain cadangan jika sewaktu-waktu situs utama diblokir oleh pemerintah Indonesia.
“Kami sudah punya daftar panjang nama domain baru. Begitu yang lama diblokir, yang baru langsung naik. Makanya situs-situs kayak gitu nggak pernah mati,” ujarnya.
Meski sudah dua tahun bekerja di industri ini, Teddy masih menyimpan rasa cemas. Bukan karena tekanan kerja, tapi karena beban moral. “Orang tua saya di kampung nggak tahu kerjaan saya sebenarnya apa. Mereka pikir saya kerja di startup digital,” katanya lirih.
Kompong Dewa, Dunia yang Lebih Tertutup
Tak jauh dari Trimulia, berdiri kompleks Kompong Dewa. Dibanding Trimulia yang terbuka dan hiruk pikuk, Kompong Dewa terasa lebih elit dan tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke dalam kawasan ini. Tanpa kartu akses, pengunjung akan langsung ditolak di gerbang depan.
Di dalamnya ada Hotel Herloom, bagian dari jaringan JHL milik pengusaha Indonesia Jerry Hermawan Lo. Ada juga apartemen mewah seperti Rama Residence, yang bahkan menolak permintaan booking kamar dari warga nonanggota.
Menurut catatan Komisi Manajemen Judi Komersial Kamboja, pengelola Kompong Dewa Casino and Resort adalah Lionhart Group. Beberapa nama yang tercatat sebagai direktur perusahaan ini adalah Robert Arifin dan Tommy Hermawan Lo. Namun dokumen terbaru menunjukkan Tommy telah mengundurkan diri per Februari 2025.
Di kawasan tertutup ini, para pekerja Indonesia juga tersebar. Salah satunya pria asal Bekasi yang bekerja sebagai staf marketing untuk perusahaan situs judi online. “Saya dipegangin belasan situs. Setiap hari kerjaannya monitor trafik, kasih ide promosi, dan sesekali bantu bikin copy buat iklan. Gaji sekitar 18 juta sebulan, cukup buat kirim ke rumah,” ujarnya.
Dua perempuan asal Manado yang bekerja di tim pemasaran juga mengaku hal serupa. Mereka masih tergolong baru, baru tiga bulan bergabung, dan gajinya pun masih Rp 10 juta. “Kita promosiin situs lewat Instagram, Telegram, TikTok. Kadang juga handle customer kalau lagi rame,” kata salah satu dari mereka.
Indonesia yang Tak Lagi di Tanah Air
Baik di Trimulia maupun Kompong Dewa, suasananya seperti Indonesia mini. Makanan Indonesia, bahasa Indonesia, bahkan drama rumah tangga ala Indonesia pun ada. Tapi satu hal yang membedakan: semua terjadi di balik bayang-bayang industri yang masih dianggap ilegal di negeri asal mereka.
Sebagian dari mereka memang datang ke sini karena tahu persis apa yang akan mereka kerjakan. Tapi tak sedikit juga yang awalnya tertipu iklan lowongan kerja bazoka. Mereka dijanjikan bekerja di “perusahaan teknologi”, hanya untuk akhirnya terjebak di dunia digital yang gelap.
“Buat kami, ini bukan soal bangga atau enggak,” ujar Teddy. “Ini soal bertahan hidup.”