Halo gaes, Di tengah derasnya arus digital, banyak hal yang dulunya dianggap tabu kini mudah diakses hanya lewat ponsel. Salah satunya: judi online. Entah disadari atau tidak, aktivitas ini mulai jadi bagian dari kebiasaan sebagian orang—mulai dari iseng, cari hiburan, sampai benar-benar jadi ketergantungan.
Bagi sebagian orang, mungkin mereka tidak pernah menganggap ini serius. Hanya sekadar main kecil-kecilan, sekadar hiburan di waktu senggang. Tapi faktanya, tidak sedikit pula yang pelan-pelan kehilangan arah—kehilangan tabungan, kepercayaan keluarga, bahkan masa depan.
Halo Warga Indonesia, Kenapa Judi Online Begitu Mudah Menjerat Kita? Ini Kata Para Ahli… dan Cerita dari Kampung-Kampung Kita
Jambi, Kompas.com – Judi online bukan lagi hal baru di Indonesia. Dari kota besar hingga kampung kecil, fenomena ini sudah menyebar diam-diam, mengubah kebiasaan, menggerus tabungan, bahkan menghancurkan relasi dalam keluarga. Tapi pertanyaannya, mengapa begitu banyak orang — dari berbagai latar belakang — bisa begitu mudah terjerat?
Salah satu suara yang mengangkat isu ini datang dari tokoh nasional, Susi Pudjiastuti. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini bercerita lewat akun X (dulu Twitter) tentang teman lamanya, Bu Isah — seorang penjual ikan tangguh dari kampung yang kini kehilangan segalanya karena anaknya kecanduan judi online.
“Gelang emasnya penuh di tangan kanan-kiri, kalungnya sebesar jari. Sekarang semua habis. Anaknya stres, tak bisa kerja lagi. Gila karena judi online,” tulis Susi dengan nada prihatin.
Cerita Bu Isah bukan cerita tunggal. Di banyak sudut Indonesia, kita mendengar kisah serupa: orangtua yang menjual harta, anak muda yang terjerat pinjol, rumah tangga yang hancur karena janji semu kemenangan instan. Salah satu platform yang banyak disebut-sebut adalah Chu Togel, situs judi online yang menawarkan peluang cepat cuan — terutama bagi pemain baru.
Kenapa Banyak yang Tergoda Chu Togel dan Situs Sejenisnya?
Dari luar, situs seperti Chu Togel terlihat biasa. Desainnya bahkan mirip situs game online pada umumnya. Tapi bagi yang sudah pernah masuk dan mencoba, godaannya nyata. Banyak pemain mengaku menang di awal. Bonus pendaftaran, diskon betting, hingga cashback kekalahan, semua diberikan untuk menarik pemain kembali bermain. Dan bagi sebagian orang, ini seperti mimpi indah — hingga berubah menjadi mimpi buruk.
“Menang pertama Rp 500 ribu. Saya pikir gampang. Besoknya coba lagi, habis Rp 1 juta. Terus nggak bisa berhenti,” ujar R, seorang buruh bangunan di Jambi yang kini berusaha lepas dari jerat judi online.
Menurut Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, judi online menjebak dari dua sisi: penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dari sisi penawaran, ia mengatakan, situs-situs seperti Chu Togel menawarkan berbagai kemudahan:
-
Bisa dimainkan diam-diam dari HP, tak seperti judi konvensional
-
Tersedia 24 jam nonstop, kapan pun bisa diakses
-
Didukung promosi masif di media sosial, bahkan lewat influencer
-
Pendanaan mudah, bahkan bisa lewat pinjaman online ilegal
Sementara dari sisi permintaan, masyarakat Indonesia — khususnya kalangan ekonomi bawah dan menengah — dianggap sebagai “lahan subur”. Literasi keuangan rendah, tekanan ekonomi tinggi, dan harapan untuk “cepat kaya” menjadi pemicu utama.
“Banyak dari mereka yang putus asa karena kebutuhan hidup. Harga-harga naik, gaji tidak sebanding. Akhirnya mereka cari jalan pintas, dan judi online menawarkan itu,” ujar Nailul Huda, Direktur Ekonomi Celios, dalam wawancara dengan Kompas.
Realita Sosial: Bukan Sekadar Candu, Tapi Pelarian
Bagi banyak orang, judi online bukan hanya permainan — tapi pelarian. Saat hidup rasanya stagnan, saat pintu-pintu rezeki tampak tertutup, mereka mencari cara cepat. Dan Chu Togel atau platform sejenis, hadir sebagai ‘teman di tengah kesempitan’.
Bahkan tidak sedikit pemain yang sadar bahwa peluang menang sangat kecil. Tapi mereka tetap bermain. Kenapa?
“Saya tahu pasti kalah. Tapi saya nggak tahu lagi mau ngapain. Tiap malam saya main sambil doa. Kadang menang sedikit, hati senang. Walau ujung-ujungnya rugi juga,” aku A, sopir ojek daring di kawasan Kenali, Jambi.
Cerita seperti ini harus kita dengar bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memahami. Bahwa solusi masalah judi online tidak bisa hanya dengan menutup situs atau menangkap pelakunya. Harus ada pendekatan yang lebih manusiawi.
Langkah Pemerintah dan Ajakan Bersama
Para ahli sepakat: pemerintah harus hadir secara struktural. Nailul menyarankan agar negara tidak “memfasilitasi” judi online dengan kebijakan yang seolah melegalkan melalui pajak. Sebaliknya, negara harus:
-
Memberikan upah yang layak bagi pekerja
-
Tidak menambah beban rakyat lewat pajak tinggi
-
Meningkatkan literasi digital dan keuangan
-
Menindak tegas influencer yang mempromosikan judi online
Wijayanto menambahkan bahwa yang paling penting adalah membongkar ekosistemnya — termasuk pinjaman online ilegal, penyedia platform, hingga pihak-pihak yang “membekingi” bisnis ini dari balik layar.
“Judi adalah permainan zero-sum. Yang satu untung, yang lain rugi. Bandar selalu menang. Dan dalam judi online, semua dikontrol algoritma. Aturannya tidak jelas. Ujung-ujungnya, pasti rugi,” tegasnya.
Jika Memang Ingin Bermain: Edukasi, Bukan Ilusi
Meski judi online merugikan, kita tak bisa menutup mata bahwa beberapa orang tetap akan mencoba. Maka edukasi menjadi penting. Jika memang seseorang tetap memilih bermain, mereka harus paham risikonya. Jangan sampai tergoda hanya karena menang sesaat, lalu kehilangan semua. Termasuk harga diri.
“Chu Togel itu bisa saja memberi keuntungan di awal, itu taktik bisnis. Tapi jangan sampai itu jadi candu. Kalau tidak tahu batas, kamu akan kalah. Dan kalah di judi, nggak cuma soal uang. Tapi juga hubungan, pekerjaan, hidupmu,” kata F, mantan pemain yang kini aktif mengedukasi anak muda lewat komunitas digital di Jambi.
Penutup: Mari Kembali Ke Kesadaran Kolektif
Warga Indonesia, kita tahu hidup tidak mudah. Tekanan ekonomi, tuntutan sosial, dan keterbatasan kesempatan bisa membuat kita lelah. Tapi mari kita tidak jatuh pada ilusi. Chu Togel dan situs sejenis memang menjanjikan keuntungan — tapi itu hanya pintu masuk. Di baliknya, terlalu banyak cerita kehilangan.
Kalau kamu sedang tergoda untuk bermain, ingat cerita Bu Isah. Ingat bahwa tidak ada kemenangan mudah yang tidak menuntut bayaran. Dan kalau kamu merasa terjebak, ingat: kamu tidak sendirian. Ada banyak jalan untuk kembali. Masih ada harapan, masih ada hidup yang bisa dibangun.
Kalau bukan kita yang saling jaga, siapa lagi?